KRISPATIH "KENANGAN TERINDAH"

Kamis, 06 Oktober 2011

BIOETIKA "MENJADI MANUSIA YANG BAIK"


BAB I
PENDAHULUAN

Telah diketahui bersama bahwa kita sebagai manusia tidak dapat hidaup sendiri. Kita semua ini bukanlah malaikat, yang dapat hidup dengan tidak makan, minum, dan lain sebagainya. Kita adalah manusia, kita adalah anak Adam yang pasti mempunyai banyak keperluan hidup, baik bersifat rohani maupun yang bersifat jasmani, baik yang primer maupun yang sekunder.
Kita semua tahu hampir semua kebutuhan hidup kita ini sampai kepada kebutuhan hidup kita yang sekecil-kecilnya sekalipun tidak mungkin dapat kita cukupi hanya dengan usaha tangan kita sendiri tanpa bantuan orang lain. Kita makan misalnya, setiap suap nasi yang kita makan, kita memerlukan bantuan puluhan atau bahkan ratusan dan ribuan orang lain yang bekerja mewujudkan setiap suap nasi kita itu, sejak mulai biji padi dijatuhkan di tanah, sampai akhirnya berwujud nasi yang siap untuk dimakan.
Misalnya lagi, kita mencari ilmu. Setiap bagian ilmu yang kita pelajari, pastilah sebelum itu sudah banyak sekali orang lain yang telah bekerja bersusah payah sehingga ilmu itu dapat dan mudah kita pelajari. Kita tinggal membaca buku atau mendengarkannya, dan kita tidak melakukan penyelidikan mulai dari nol ketika ilmu itu belum ditemukan.
Jadi kita semua pasti memerlukan bantuan orang lain. Dan hajat kita akan bantuan orang lain, bergaul dengan orang lain. Dengan kata lain, kita semua ini harus hidup bermasyarakat. Oleh sebab itulah maka manusia dikatakan sebagai makhluk sosial yang idealnya harus selalu berbuat baik.
Pengertian baik tidaklah dapat disamakan dalam setiap hal atau perbuatan. Tidak semua kebaikan merupakan kebaikan akhlak. Contohnya, suatu tembakan yanga baik dalam pembunuhan, dapat merupakan perbuatan akhlak yang buruk
Namun begitu, setiap agama pasti mengajarkan  penganutnya agar menjadi manusia yang baik. Sebagai contoh, agama Islam membawa misi sosial, sebab ia diturunkan memang memperbaiki masyarakat umat manusia. Karena itu sesuai dengan misi Islam ialah misi sosial ini, Islam banyak mempunyai ajaran di bidang sosial kemasyarakatan yang membawa umatnya menjadi manusia sosial yang baik, yang mampu berhubungan dan bergaul dengan orang lain secara baik
Ajaran-ajaran Islam yang demikian ini, kita temukan misalnya pada perintah zakat bagi yang mampu, anjuran berqurban binatang pada setiap ‘Idul qurban, anjuran sedekah, anjuran menyebarkan salam Islam kepada orang lain baik yang kita kenal maupun tidak, dan kewajiban naik haji bagi yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Selain itu diutamakan oleh Allah SWT dengan memberikan pahala yang lebih besar dari pada amalan-amalan yang kita kerjakan secara individu, maisalnya shalat lima wakttu yang dikerjakan secara berjemaah.
Dengan ajaran-ajaran sosial dalam Islam yang demikian ini, tiap umatnya di didik oleh agama Islam supaya dapat menjadi “manusia sosial yang baik” yang pandai membawa diri di dalam hidup bermasyarakat.
Atas dasar uraian di atas, maka di dalam makalah ini akan dibahas tentang “Menjadi Manusia yang Baik” dalam ruang lingkup etika, yaitu bagaimana sifat dan cara menjadi manusia yang baik. 

BAB II
PEMBAHASAN

Berbuat baik (Beneficence) merupakan salah satu prinsip dalam Bioetika (Shannon, 1997). Prinsip berbuat baik merupakan segi positif dari prinsip tidak merugikan. Kewajiban berbuat baik menuntut bahwa kita harus membantu orang lain dalam memajukan kepentingan mereka.

A.    Pengertian Kebaikan Secara Etika
Secara umum kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan, yang diusahakan dan menjadi tujuan manusia. Tingkah laku manusia adalah baik dan benar, jika tingkah laku tersebut menuju kesempuranan manusia. Kebaikan disebut nilai (value), apabila kebaikan itu bagi seseorang menjadi kebaikan yang konkrit.
Manusia menentukan tingkah lakunya untuk tujuan dan memilih jalan yang ditempuh. Pertama kali yang timbul dalam jiwa adalah tujuan itu, dalam pelaksanaanya yang pertama diperlukan adalah jalan-jalan itu. Jalan yang ditempuh mendapatkan nilai dari tujuan akhir.
Manusia harus mempunyai tujuan akhir untuk arah hidupnya. Tujuan harus ada, supaya manusia dapat menentukan tindakan pertama. Jika tidak, manusia akan hidup secara serampangan. Tetapi bisa juga orang mengatakan hidup secara serampangan menjadi tujuan hidupnya. Akan tetapi dengan begitu manusia tidak akan sampai kepada kesempurnaan kebaikan selaras dengan derajat manusia.
Untuk setiap manusia, hanya terdapat satu tujuan akhir. Seluruh manusia mempunyai sifat serupa dalam usaha hidupnya, yaitu menuntut kesempurnaan.
Tujuan akhir selamanya merupakan kebaikan tertinggi, baik manusia itu mencarinya dengan kesenangan atau tidak. Tingkah laku atau perbuatan menjadi baik dalam arti akhlak, apabila membimbing manusia ke arah tujuan akhir, yaitu dengan melakukan perbuatan yang membuatnya baik sebagai manusia.
Berdasarkan norma susila, kebaikan atau keburukan perbuatan manusia dapat dipandang melalui beberapa cara, yaitu :
Ø  Objektif      keadaan perseorangan tidak dipandang.
Ø  Subjektif    keadaan perseorangan diperhitungkan.
Ø  Batiniah     berasal dari dalam perbuatan sendiri (kebatinan, intrinsik)
Ø  Lahiriah     berasal dari perintah atau larangan Hukum Positif (ekstrinsik)

Perbuatan yang sendirinya jahat tidak dapat menjadi baik atau netral karena alasan atau keadaan. Biarpun mungkin taraf keburukannya dapat berubah sedikit sedikit, orang tidak boleh berbuat jahat untuk mencapai kebaikan.
Perbuatan yang baik, tumbuh dalam kebaikannya, karena kebaikan alasan dan keadaannya. Suatu alasan atau keadaan yang jahat sekali, telah cukup untuk menjahatkan perbuatan. Kalau kejahatan itu sedikit, maka kebaikan perbuatan hanya akan dikurangi.
Perbuatan netral memproleh kesusilaannya, karena alasan dan keadaannya. Jika ada beberapa keadaan, baik dan jahat, sedang perbuatan itu sendiri ada baik atau netral dipergunakan.

B. Pengertian Keutamaan
Pengertian “Keutamaan” Kata “keutamaan” berasal dari kata Yunani arete, Latin virtus dan virtue dalam bahasa Inggris. Kata sifat dalam bahasa Inggris adalah virtuous yang diterjemahkan menjadi “saleh”. Dalam hal ini, kata keutamaan lebih kental dalam arti moral. Pada awalnya kata arete dalam budaya Yunani kuno berarti kekuatan atau kemampuan, misalnya untuk berperang atau untuk menanami sawah atau membuat kereta. Arete adalah kemampuan untuk melakukan perannya dengan baik. Arete adalah kemampuan manusia untuk melakukan perannya sebagai manusia, untuk mencapai telos-nya, tujuan internalnya.
Keutamaan itu selalu adalah kekuatan, kemampuan, suatu kelebihan. Kata “utama” menunjuk pada kemampuan manusia untuk membawa diri sebagai manusia utuh, jadi tidak dipersempit secara moralistik pada “kesalehan” saja. “Manusia utama” adalah manusia yang luhur, kuat, kuasa untuk melakukan dan menjalankan apa yang baik dan tepat, untuk melakukan tanggung jawabnya.
Untuk memperdalam pengertian “keutamaan”, MacIntyre memasukkan tiga paham yang khas bagi manusia dan merupakan kerangka yang harus dipakai untuk mengerti manusia, yaitu: paham “kegiatan bermakna” (practice), paham “tatanan naratif kehidupan seseorang” (narrative of a single human life), dan “tradisi moral” (moral tradition).

C. Etika Kewajiban dan Etika Keutamaan
Dalam penilaian etis pada taraf populer dapat dibedakan dua macam pendekatan. Kita bisa terutama memandang perbuatan dan mengatakan bahwa perbuatan itu baik atau buruk, adil atau tidak adil, jujur atau tidak jujur. Kita bisa mengatakan, misalnya, bahwa penjelasan yang diberikan oleh seseorang adalah cerita bohong saja. Disini kita seolah-olah”mengukur” suatu perbuatan dengan norma atau prinsip-prinsip moral. Jika perbuatan itu sesuai dengan pinsip bersangkutan, kita menyebutnya baik,adil,jujur, dan sebagainya; jika tidak sesuai,kita menyebutnya buruk, tidak adil, tidak jujur dan sebagainya. Di samping itu ada cara penilaian etis lain lagi yang tidak begitu memandang perbuatan, melainkan justru keadaan pelaku itu sendiri. Kita mengatakan seseorang adalah orang baik, adil, jujur, dan sebagainya atau, sebaliknya adalah orang jahat, tidak adil, tidak jujur, dan sebagainya. Kita mengatakan, misalnya, bahwa orang tertentu tidak bisa dipercaya, karena ia tidak jujur. Disini kita menunjuk bukan kepada prinsip, norma, melainkan kepada sifat watak atau akhalak yang dimiliki orang itu atau justru tidak dimilikinya. Kita berbicara tentang bobot moral salah satu perbuatannya.
Dua pendekatan moral yang sudah dapat ditemukan dalam hidup sehari-hari ini dalam tradisi pemikiran filsafat moral tampak sebagai dua tipe teori etika yang berbeda etika kewajiban dan etika keutamaan. Etika kewajiban mempelajari prinsip-prinsip dan aturan-aturan moral yang berlaku untuk perbuatan kita. Etika ini menunjukkan norma-norma dan prinsip-prinsip mana yang perlu diterapkan dalam hidup moral kita, lagi pula urutan pentingnya yang berlaku diantaranya. Jika terjadi konflik antara dua prinsip moral yang tidak dapat dipenuhi sekaligus, etika ini menoba menentukan yang mana harus diberi prioritas. Pendeknya, etika kewajiban menilai benar salahnya kelakuan kita dengan berpegang pada norma dan prinsip moral saja.
Etika keutamaan mempunyai orientasi yang lain. Etika ini tidak begitu menyoroti perbuatan satu demi satu, apakah sesuai atau tidak dengan norma moral, tapi lebih memfokuskan manusia itu sendiri. Etika ini mempelajari keutamaan (virtue), artinya sifat watak yang dimiliki manusia etika keutamaan tidak menyelidiki apakah perbuatan kita baik atau buruk, melainkan apakah kita sendiri orang baik atau orang buruk. Etika keutamaan mengarahkan fokus perhatiannya kepada diri manusia sendiri, sedangkan etika kewajiban menekankan tentang apa yang dilakukan manusia itu sendiri. Etika keutamaan ingin menjawab pertanyaan: what kind of person shoud i be?, “saya harus menjadi orang yang bagaiman?”, sedangkan bagi etika kewajiban pertanyaan pokok adalah: what should I do?, “saya harus melakukan apa?”
Ditinjau dari segi filsafat moral, maka etika keutamaan adalah tipe teori etika yang tertua. Pada awal sejarah filsafat di Yunani Sokrates, Plato dan Aristoteles telah meletakkan dasar etika ini dan berabad-abad lamanya etika keutamaan dikembangkan terus. Etika kewajiban dalam bentuk murni baru tampil di zaman modern dan agak cepat mengesampingkan etika keutamaan. Etika keutamaan terutama mulai ditinggalkan sehak tumbuhnya dua tradisi pemiiran moral yang sebetulnya cukup berbeda, masing-masing dipelopori oleh filsuf inggris David Hume (1711-1776) dan filsuf Jerman Immanuel Kant (1724-1804). Khusunya filsuf terakhir ini memberi tekanan besar pada kewajiban. Sebagai akibat, pemikiran moral sejak kira-kira buku etika terutama yang berbahasa Inggris cukup lama hanya membahas etika kewajiban saja. Etika keutamaan disitu praktis dilupakan. Tapi sejak beberapa dasawarsa kita menyaksikan timbulnya minat baru untuk etika keutamaan, justru mulai di kawasan berbahasa Inggris. Kalau kita membandingkan misalnya edisi pertama (1963) dan edisi kedua (1973) dari buku William K. Frankena berjudul Ethics, yang banyak dipakai sebagai buku pegangan untuk satu hal yang mencolok mata adalah bahwa perhatian pengarang untuk etika keutamaan dalam edisi ke dua itu jauh lebih besar. Dipengaruhi oleh tendensi filsafat moral pada waktu itu, ternyata ia menyesuaikan pemikirannya antara tahun 1963 dan 1973 itu.
Bagaimana sebaiknya hubungan antara etika kewajiban dan etika keutamaan?Menurut hemat kami, disini tidak ada dilema. Kita tidak menghadapi pilihan atau etika kewajiban atau etika keutamaan. Moralitas selalu berkaitan dengan prinsip serta aturan dan serentak juga dengan kualitas manusia itu sendiri, dengan sefat-sifat dan wataknya. Kami dapat menyetujui pandangan Frankena bahwa etika kewajiban dan etika keutamaan melengkapi satu sama lain. Etika kewajiban membutuhkan etika keutaman dan sebaliknya etika keutamaan membutuhkan etika kewajiban. Di bidang moral, usaha untuk mengikuti prinsi dan aturan moral itu. Dan yang terakhir ini tidak lain daripada keutamaan. Akan sangat praktis, jika seorang guru, umpamanya dalam menjalankan tugasnya sepanjang hari harus mengukur perbuatannya dengan prinsip-prinsip moral. Jauh lebih efesien, jika tingkah lakunya diarahkan oleh keutamaan yang melekat pada batinnya, seperti misalnya kesetiaan dan ketekunan kerja. Justru dalam kehidupan moral yang rutin keutamaan sangat dibutuhkan. Hanya dalam keadaan yang agak eksepsional, seperti misalnya dilema moral, kita mendasarkan kelakuan kita secara eksplisit atas suatu prinsip moral. Jika tim guru, umpamanya mempertimbangkan untuk mengeluarkan seorang murid dari sekolah, mereka menghadapi suatu dilema moral apakah mereka harus mementingkan nama baik sekolah serta mencegah terjdinya pengaruh kurang baik dari murid satu itu atas teman-temannya ataukah mereka harus menomor satukan kepentingan anak bandel itu serta masa depannya yang pasti akan menjadi suram jika pada saat ini ia putus sekolah. Kasus seperti ini tidak mudah diselesaikan tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip moral. Tapi syukurlah tidak setiap hari kita berhdapan dengan kasus seberat itu. Dalam hidup sehari-hari kelakuan moral kita lebih baik dituntun oleh keutamaan.
Masih ada alasan lagi mengapa etika kewajiban membutuhkan etika keutamaan. Jika kita mentaati prinsip dan norma moral, kita belum tentu menjadi manusia yang sungguh-sungguh  baik secara moral. Berpegang pada norma moral memang merupakan syarat bagi perilaku yang baik. Akan tetapi, membatasi diri pada norma saja belum cukup untuk dapat disebut seorang yang baik dalam arti sepenuhnya. Seorang dokter yang belum pernah melakukan malapraktek karena selalu patuh pada aturan yang berlaku (dalam arti hukum maupun moral), belum tentu merupakan dokter yang sungguh-sungguh baik dari sudut moral. Supaya menjadi dokter yang baik, perlu ia memiliki sikap rela melayani sesama yang sakit. Dengan kata lain, perlu ia memiliki keutamaan. Pohon yang baik dengan sendirinya akan menghasilkan buah yang baik, sehingga tidak bisa lain perbuatannya akan baik juga.
Disisi lain etika keutamaan membutuhkan juga etika kewajiban. Etika keutamaan saja adalah buta, jika tidak dipimpin oleh norma atau prinsip. Benci sebagai salah satu sifat watak mudah membawa orang ke perbuatan seperti membunuh atau merugikan orang lain. Keadilah sebagai sifat watak membawa kita ke suatu keadaan di mana kita memperlakukan orang lain secara adil dengan membayar gaji yang pantas umpamanya kepada karyawan. Bagaimana kita tahu bahwa salah satu adalah buruk  dan yang lain adalah yang baik? Tentu karena kita berpegang pada norma. Kita dapat membedakan dua sifat watak tadi, karena kita menerima sebagai norma moral tidak terlepas satu sama lain.

D. Prinsip-Prinsip Moral
Prinsip-Prinsip Moral Dasar, berikut ini adalah prinsip-prinsip dari moral dasar tersebut :
a. Prinsip Sikap Baik
Kesadaran inti utilitarisme ialah bahwa kita hendaknya jangan merugikan siapa saja, jadi bahwa sikap yang dituntut dari kita sebagai dasar dalam hubungan dengan siapa saja adalah sikap yang positif dan baik. Prinsip utilitarisme, bahwa kita harus mengusahakan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan mengusahakan untuk sedapat-dapatnya mencegah akibat-akibat buruk dari tindakan kita bagi siapa saja yang terkena olehnya memang hanya masuk akal, kalau sudah diandaikan bahwa kita harus bersikap baik terhadap orang lain.
Dengan demikian prinsip moral dasar pertama dapat kita sebut prinsip sikap baik. Prinsip itu mendahului dan mendasari semua prinsip moral lain. Baru atas tuntutan dasar ini semua tuntutan moral lain masuk akal. Kalau tidak diandaikan bahwa pada dasarnya kita harus bersikap positif terhadap orang lain.
Prinsip ini mempunyai arti yang amat besar bagi kehidupan manusia. Hanya karena prinsip itu memang kita resapi dan rupa-rupanya mempunyai dasar dalam struktur psikis manusia, kita dapat bertemu dengan orang yang belum kita kenal tanpa takut. Karena sikap dasar itu kita dapat mengandaikan bahwa orang lain tidak akan langsung mengancam atau merugikan kita. Karena sikap dasar itu kita selalu mengandaikan bahwa yang memerlukan alasan bukan sikap yang baik melainkan sikap yang buruk. Jadi yang biasa pada manusia bukan sikap memusuhi dan mau membunuh, melainkan sikap bersedia untuk menerima baik dan membantu. Oleh karena itu berulang kali kita dapat mengalami bahwa orang yang sama sekali tidak kita kenal, secara spontan tidak membantu kita dalam kesusahan. Andaikata tidak demikian, andaikata sikap dasar antar manusia adalah negatif, maka siapa saja harus kita curigai, bahkan kita pandang sebagai ancaman. Hubungan antar manusia akan mati.
b. Prinsip Keadilan
Masih ada prinsip lain yang tidak termuat dalam utilitarisme, yaitu prinsip keadilan. Bahwa keadilan tidak sama dengan sikap baik, dapat kita pahami pada sebuah contoh : untuk memberikan makanan kepada seorang ibu gelandangan yang menggendong anak, apakah saya boleh mengambil sebuah kotak susu dari sepermarket tanpa membayar, dengan pertimbangan bahwa kerugian itu amat kecil, sedangkan bagi ibu gelandangan itu sebuah kotak susu dapat berarti banyak baginya. Tetapi kecuali kalau betul-betul sama sekali tidak ada jalan lain untuk menjamin bahwa anak ibu itu dapat makan, kiranya kita harus mengatakan bahwa dengan segala maksud baik itu kita tetap tidak boleh mencuri. Mencuri melanggar hak milik pribadi dan dengan demikian keadilan. Berbuat baik dengan melanggar hak pihak ketiga tidak dibenarkan.
Hal yang sama dapat juga dirumuskan dengan lebih teoritis : Prinsip kebaikan hanya menegaskan agar kita bersikap baik terhadap siapa saja. Tetapi kemampuan manusia untuk bersikap baik secara hakiki terbatas, itu tidak hanya berlaku pada benda-benda materiil yang dibutuhkan orang : uang yang telah diberikannya kepada seseorang pengemis tidak dapat dibelanjakan bagi anak-anaknya sendiri; melainkan juga dalam hal perhatian dan cinta kasih : kemampuan untuk memberikan hati kita juga terbatas! Maka secara logis dibutuhkan prinsip tambahan yang menentukan bagaimana kebaikan yang merupakan barang langka itu harus dibagi. Prinsip itu prinsip keadilan.
Adil pada hakekatnya berarti bahwa kita memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Dan karena pada hakekatnya semua orang sama nilainya sebagai manusia, maka tuntutan paling dasariah keadilan ialah perlakuan yang sama terhadap semua orang, tentu dalam situasi yang sama. Jadi prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama dan untuk menghormati hak semua pihak yang bersangkutan. Suatu perlakuan yang tidak sama adalah tidak adil, kecuali dapat diperlihatkan mengapa ketidak samaan dapat dibenarkan (misalnya karena orang itu tidak membutuhkan bantuan). Suatu perlakuan tidak sama selalu perlu dibenarkan secara khusus, sedangkan perlakuan yang sama dengan sendirinya betul kecuali terdapat alasan-alasan khusus. Secara singkat keadilan menuntut agar kita jangan mau mencapai tujuan-tujuan, termasuk yang baik, dengan melanggar hak seseorang.
c. Prinsip Hormat Terhadap Diri Sendiri
Prinsip ini mengatakan bahwa kita wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai suatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan faham bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak yang memiliki kebebasan dan suara hati, makhluk berakal budi. Oleh karena itu manusia tidak pernah boleh dianggap sebagai sarana semata-mata demi suatu tujuan yang lebih lanjut. Ia adalah tujuan yang bernilai pada dirinya sendiri, jadi nilainya bukan sekedar sebagai sarana untuk mencapai suatu maksud atau tujuan yang lebih jauh. Hal itu juga berlaku bagi kita sendiri. Maka manusia juga wajib untuk memperlakukan dirinya sendiri dengan hormat. Kita wajib menghormati martabat kita sendiri.
Prinsip ini mempunyai dua arah. Pertama dituntut agar kita tidak membiarkan diri diperas, diperalat, diperkosa atau diperbudak. Perlakuan semacam itu tidak wajar untuk kedua belah pihak, maka yang diperlakukan demikian jangan membiarkannya berlangsung begitu saja apabila ia dapat melawan. Kita mempunyai harga diri. Dipaksa untuk melakukan atau menyerahkan sesuatu tidak pernah wajar, karena berarti bahwa kehendak dan kebebasan eksistensial kita dianggap sepi. Kita diperlakukan sama seperti batu atau binatang. Hal itu juga berlaku apabila hubungan-hubungan pemerasan dan perbudakan dilakukan atas nama cinta kasih, oleh orang yang dekat dengan kita, seperti oleh orang tua atau suami. Kita berhak untuk menolak hubungan pemerasan, paksaan, pemerkosaan yang tidak pantas. Misalnya ada orang yang didatangi orang yang mengancam bahwa ia akan membunuh diri apabila dia itu tidak mau kawin dengannya, maka menurut hemat saya sebaiknya diberi jawaban “silahkan!” dengan resiko bahwa ia memang akan melalukannya (secara psikologis itu sangar tidak perlu dikhawatirkan; orang yang sungguh-sungguh untuk membunuh diri biasanya tidak agresif). Adalah tidak wajar dan secara moral tidak tepat untuk membiarkan dia diperas, juga kalau kita mau diperas atas nama kebaikan kita sendiri.
Yang kedua, kita jangan sampai membiarkan diri terlantar, kita mempunyai kewajiban bukan hanya terhadap orang lain, melainkan juga terhadap diri kita sendiri. Kita wajib untuk mengembangkan diri. Membiarkan diri terlantar berarti bahwa kita menyia-nyiakan bakat-bakat dan kemampuan-kemampuan yang dipercayakan kepada kita. Sekaligus kita dengan demikian menolak untuk memberikan sumbangan kepada masyarakat yang boleh diharapkannya dari kita.

E. Keutamaan dan Watak Moral.
Sampai disini kita mengandaikan begitu saja bahwa keutamaan membuat seseorang menjadi manusia yang baik. Sekarg perlu diperiksa lebih mendalam apa yang dimaksudkan dengan keutamaan. Jika kita ingin menyifatkan keutamaan,  mungkin dapat kit katakan sebagai berikut. Keutamaan adalah disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral. Kemurahan hati, misalnya meruoakan suatu keutamaan yang membuat seseorang membagi harta bendanya dengan orang lain yang membutuhkan. Dan kita semua akan setuju bahwa tingkah laku seperti itu adalah baik dan terpuji. Mari kita memandang lebih rinci beberapa unsur tadi.
a. Keutamaan adalah suatu disposisi artinya suatu kecenderungan tetap. Itu tidak berarti bahwa keutaman tidak bisa hilang, tapi hal itu tidak mudah terjadi. Keutamaan adalah sifat baik yang mendarah daging pada seseorang, tapi bukan sembarang sifat baik adalah keutamaan juga. Kesehatan atau kekuatan fisik adalah sifat baik, demikian juga daya ingatan atau daya kosentrasi yang kuat. Tapi sifat-sifat badani dan psikis itu bukanlah keutamaan karena belum tentu terarah pada tingkah laku yang baik dari segi moral. Keutamaan bagi kita sama saja dengan keutamaan moral.
b. Keutamaan berkaitan dengan kehendak. Keutamaan adalah disposisi yang membuat kehendak tetap cenderung kearah yang tertentu. Kerendahan hati misalnya menempatkan kemauan saya ke arah yang tertentu (yaitu tidak menonjolkan diri) dalam suasana situasi yang saya hadapi. Tidak mungkin perilaku berkeutamaan tanpa disertai maksud yang baik. Tapi jika maksud saya baik, bisa saja bagi sementara orang perbuatan saya kurang baik, namun karena maksud baik tadi, perbuatan saya tetap baik. Misalnya jika beberapa kali perbuatan saya ditafsirkan orang lain sebagai sombong maka saya tetap rendah hati kalau maksud saya tidak demikian. Orang lain tentu tidak bisa melihat kedalam lubuk hati saya. Di sisi lain, jika orang lain terus menerus menafsirkan perbuatan saya sebagai sombong tidak masuk akal lagi bahwa maksud saya selalu baik.

c. Keutamaan diperoleh melalui jalan membiasakan diri dan kera itu merupakan hasil latihan. Keutamaan tidak dimiliki manusia sejak lahir. Keutamaan terbentuk selama suatu proses pembiasaan dan latihan yang cukup panjang, dimana pendidikan tentu memainkan peranan penting. Di sini boleh ditambah lagi bahwa proses perolehan keutamaan itu disertai suatu upaya korektif artinya keutamaan diperoleh dengan mengoreksi suatu sifat awal yang tidak baik. Keutamaan seperti keberanian misalnya diperoleh dengan melawan rasa takut yang lebih biasa bagi manusia bila menghadapi bahaya.  Pengendalian diri sebagai keutamaan terbentuk dengan melawan kecenderungan yangbiasa untuk mencari kesenangan tanpa batas. Dari uraian tadi menjadi jelas bahwa keutamaan sebgai sifat  watak moral perlu dibedakan dari sifat watak yang dimiliki manusia secara “alamiah” atau sejak dilahirkan.

d. Keutamaan perlu dibedakan juga dari keterampilan. Memang seperti halnya dengan keutamaan, keterampilan pun diperoleh melalui latihan, lagi pula berciri korektif. Seperti sifat watak non moral membantu memperoleh keutamaan, demikian pula bakat alamiah mempermudah membentuk keterampilan. Tapi disamping persamaan ini ada perbedaan yang lebih menentukan =. Kita bisa menyebut setidaknya empat macam perbedaan.
1. Keteampilan hanya memungkinkan orang untuk melakukan jenis perbuatan yang tertentu sedangkan keutamaan tidak terbatas pada satu jenis perbuatan saja.
Misalnya: seorang pemain piano, pemain bulu tangkis, penembak jitu atau pilot pesawat terbang semua memiliki keterampian yang memungkinkan mereka untuk melakukan perbuatan tertentu. Seorang yang berhasil menjadi juara bulutangkis tentu hebat sekali di bidangnya  tapi tidak sanggup lebih dari orang lain, jika disuruh menembak jitu atau mengemudikan pesawat terbang. Tapi orang yang memiliki keberanian, kemurahan hati, kesabaran atau keutamaan apa saja tidak pernah terarahkepada jenis perbuatan tertentu saja. Dari jenis perbuatan keutamaan mempunyai lingkup kemungkinan jauh lebih luas daripada keterampilan.

2. Baik keterampilan maupunkeutamaan bercirikorektif keduanya membantu untuk mengatasi suatu kesulitan awal. Tapi disini ada perbedaan juga. Dalam hal keterampilan kesulitan itu bersifat teknis. Jika sudah diperoleh ketangkasan, kesulinan teknis itu teratasi. Dalam hal keutamaan, kesulitan itu berkaitan dengan kehendak. Jika menghadapi bahaya, kita cenderung melarikan diri. Dengan memperoleh keberanian, kehendak kita mempunyai kesanggupan mengatasi ketakutan itu.

3. Perbedaan berikut berkaitan dengan hal yang tadi. Karena sifatnya teknis, keterampilan dapat diperoleh dengan setelah ada bakat tertentu membaca petunjuk, mengikuti kursus, dan melatih diri. sedangkan proses membaca memperoleh keutamaan jauh lebih kompleks, sama kompleksnya dengan seluruh proses pendidikan. Tidak mudah mengatakan bagaimana persisnya cara memperoleh keutamaan, tapi pasti tidak bisa dengan hanya membaca buku instruksi atau mengikuti kursus saja.

4. Suatu perbedaan terakhir sudah disebut oleh Aristoteles (384-322 s.M.) dan Thomas Aquinas (1225-1274). Perbedaan ini berkaitan dengan membuat kesalahan. Jika orang mempunyai keterampilan, membuat kesalahan, ia tidak akan kehilangan keterampilannya, seandainya ia membuat kesalahan itu dengan sengaja, justru mengakibatkan ia kehilangan klaim untuk menyebut diri orang yang berketrampilan.
Misalnya: jika seorang pilot sengaja mendaratkan pesawatnya dengan kasar (karena bermaksud mengagetkan para penumpangnya) ia tetap seorang pilot yang terampil, sebab ia bisa mendaratkan pesawatnya dengan halus juga. Tapi jika ia mendaratkan pesawatnya dengan cara kasar tanpa disengaja, ia tidak pantas disebut pilot yang terampi. Dengan keutamaan keadaannya persis terbalik.
e. Semuanya yang dikatakan tentang keutamaan ini berlaku juga untuk lawannya. Sebagai lawan keutamaan, keburukan pun adalah disposisi watak yang diperoleh seseorang dan memungkinkan dia bertingkah laku secara moral. Suatu perbedaan ialah bahwa keburukan tidak diperoleh seseorang dan memungkinkan dia bertingkah laku secara moral. Suatu perbedaan ialah bahwa keburukan tidak diperoleh dengan melawan arus, sebaliknya keburukan terbentuk dengan mengikuti arus spontan. Tetapi perbedaan yang menentukan adalah bahwa keutamaan membuat orang bertingkah laku baik secara moral sedangkan keburukan membuat orang bertingkah laku buruk secara moral.

Apa saja yang termasuk keutamaan pokok, tidak ada kebulatan pendapat. Namun kepentingannya diakui oleh semua orang yang beradab. Filsuf Jerman Arthur Schopenhauer (1788-1860), misalnya, berpendapat ada dua keutamaan pokok, yaitu kebaikan hati (benevolence) dan keadilan (justice). Kendati demikian, dunia Barat pada umumnya mengenal empat keutamaan pokok sebagai warisan dari tradisi Yunani kuno, yaitu: kearifan (prudence), pengendalian diri (temperance), keadilan, dan keberanian (fortitude).
Pada Abad Pertengahan teolog Thomas Aquinas (1225-1274) menambahkan lagi tiga keutamaan teologis pada keempat keutamaan pokok. Sejak itu, dunia Kristiani di Barat mengenal apa yang disebut dengan "Tujuh Keutamaan Moral" yang terdiri atas empat keutamaan pokok dan tiga keutamaan teologis. Untuk mendapat sedikit gambaran tentang apa itu yang dimaksud dengan semua keutamaan ini, sekarang kita akan melihatnya satu per satu secara singkat.
1. Kearifan
Kearifan adalah akal sehat yang diterapkan dalam kehidupan praktis. Orang yang baik belum tentu arif. Bisa saja ia baik tetapi bodoh, sering berbuat salah, dan membuat orang lain susah, meskipun tidak ada unsur kesengajaan atau motivasi jahat di dalam dirinya. Ketika Yesus memuji bahwa orang yang seperti anak-anak akan memiliki Kerajaan Surga (Mat 19:14), maksud-Nya adalah supaya orang memiliki hati seorang anak kecil, sederhana tidak berbelat-belit, rela diajar, penuh kasih sayang, tapi bukan meniru kebodohan dan kenaifan seorang anak. Kebodohan tidak pernah dibenarkan. Dalam mengasihi Allah, sekalipun dituntut ketulusan cara-cara mengasihi yang bodoh dan naif tidak dibenarkan. Maka, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap akal budimu" (Mat 22:37).
Namun demikian, sikap arif tidak identik dengan pendidikan tinggi. Untuk menjadi arif orang tidak harus berpendidikan tinggi. C.S. Lewis (Mere Christianity, 72), yang tadinya ateis berkata. "Siapapun yang dengan jujur berusaha menjadi Kristen akan segera mendapati bahwa intelegensinya dipertajam: salah satu alasan kenapa tidak perlu pendidikan khusus untuk menjadi seorang Kristen, agama Kristen adalah pendidikan itu sendiri. Itu sebabnya seorang percaya yang tidak terpelajar seperti Bunyan mampu menulis sebuah buku yang mencengangkan seluruh dunia."

2. Penguasaan Diri
Penguasaan diri artinya tidak terlalu jauh melangkah dalam menikmati sesuatu, bisa menahan diri dan masih bisa menarik kaki mundur dari suatu keterlibatan. Sesuatu di sini sifatnya bukan yang dilarang karena melakukan sesuatu yang dilarang selalu salah dan tidak boleh melakukannya. Sesuatu di sini pada dirinya sendiri tidak jelek seperti misalnya makanan enak, pernikahan, pakaian bagus, film, hobi, atau kebiasaan-kebiasaan tertentu. Semua ini tidak apa-apa pada dirinya sendiri, namun tidak boleh menjadi pusat hidup seseorang.
Apabila ia diminta untuk menarik diri darinya, ia masih mampu melakukannya. Barangkali Rasul Paulus memaksudkan hal ini ketika ia menganjurkan jemaat hidup dalam antisipasi kedatangan Yesus yang kedua dengan sikap seperti tidak memiliki (1 Kor 7:29-31).

3. Keadilan
Keadilan mencakup fairness dalam memberi dan menerima atau dalam menepati janji. Adil berarti memberi perlakuan yang sama kepada orang yang layak menerimanya. Keadilan terlihat dalam pemberian upah dalam jumlah yang layak tanpa terpengaruh rasa suka atau tidak suka, suku atau agama. Allah adalah adil dalam pengertian ini (e.g. Mzm 103:6; Yes 9:2-7; 11:1-5).

4. Keberanian
Keberanian sebagai keutamaan moral tidak hanya menyangkut ketegaran ketika menghadapi bahaya, sakit, atau penderitaan, tetapi juga berani jujur kepada diri sendiri maupun orang lain. Jujur kepada orang lain berarti bahwa orang lain boleh tahu siapa kita sebenarnya, apa yang kita sebenarnya yakini, pikirkan, dan rasakan. Tentunya, ini dengan catatan kita harus memperhatikan dengan siapa kita berhadapan. Dengan orang yang jelas berniat buruk terhadap kita, kita tidak dituntut untuk membuka diri seperti itu.
Jujur kepada diri sendiri berarti berani melihat dan mengakui diri sebagaimana adanya. Dan ini nantinya akan berkaitan dengan kerendahan hati. Ada persepsi yang keliru tentang kerendahan hati dalam hal mengaitkannya dengan sikap cepat mengalah bila berhadapan dengan orang lain yang lebih kuat, sikap tidak berpendirian, atau sikap gentar. Yang benar adalah kerendahan hati menyangkut kemampuan untuk melihat secara obyektif batas-batas kelemahan dan kekuatan, kekurangan dan kelebihan pribadi. Dengan keutamaan ini, orang realistis memandang kekuatan dan kelebihannya, kelemahan dan kekurangannya. Ia tidak gugup menjadi manusia yang tidak serba bisa; ia tidak bereaksi berlebihan ketika kelemahannya ketahuan: ia mau memperhatikan pendapat orang lain; ia mau dikoreksi dan ditegur tanpa menjadi minder kalau memang keyakinan atau tindakannya salah; kalau ia kurang atau salah, ia tidak sulit mengakuinya tanpa berusaha membenarkan diri; ia siap menerima konsekwensi yang harus dipikulnya; ia tidak sembarangan melemparkan tanggung jawab kepada orang lain dan mencari kambing hitam; sebagai atasan ia akan siap memikul akibat kesalahan yang dibuat bawahannya; pokoknya, ia tidak akan pura-pura menjadi orang hebat. Dalam berdialog ia tidak mudah memutlakkan pendapatnya sendiri.
Rupanya tidak semua orang berani menghadapi dirinya sendiri dengan jujur, melihat dan menerima diri seadanya. Berhadapan dengan kelemahan dan kekurangan sendiri, orang cenderung berusaha untuk tidak mengakui diri sebagaimana adanya. Dengan berbagai macam cara dan alasan, dari yang biasa sampai yang rohani orang berusaha memberi kesan-kesan palsu tentang dirinya kepada orang-orang di sekitarnya. Keutamaan jujur akan mendorong orang untuk berhenti membohongi diri sendiri. Kalaupun ia sedang melakukan suatu kewajiban, itu dilakukannya karena memang itu wajib, bukan untuk mencari muka, bukan supaya dihormati dan bukan pula sekadar mau menyesuaikan diri dengan harapan lingkungan. Orang yang memiliki keberanian moral akan bertanggung jawab dan melakukan kewajiban demi kewajiban itu sendiri (band. kategori imperatif dari Kant). Tidak dilihat orangpun, ia tetap akan melakukannya. Tidak dipujipun, ia tetap akan melakukan yang terbaik. Ancaman, celaan, rasa tidak aman, tidak akan menyelewengkan niat hatinya untuk menjalankan suatu kewajiban. Sebaliknya, kalau ia diminta untuk melakukan sesuatu yang menyeleweng dari yang seharusnya, dengan tenang ia akan menolak permintaan itu. Ia tidak akan berpihak pada mayoritas, kalau hal itu berarti kompromi dengan kebenaran dan keadilan. Suaranya tidak bisa dibeli oleh mayoritas dan ketidakbenaran. Ia berani mengatakan sesuatu yang keliru sebagai keliru tanpa perlu mencari dukungan dari sana sini dan tanpa perlu menggalang sikap antipati.
Demi kebenaran dan keadilan ia mau membela orang lain yang lemah, sekalipun tidak diminta dan sekalipun untuk itu mungkin ia akan berhadapan dengan kekuatan mayoritas. Demikianlah, kejujuran sebagai keberanian moral merupakan sikap otentik, berani menjadi diri sendiri dalam kebenaran, tidak menjadi jiplakan dari orang lain. tidak asal membeo, dan tidak ikut saja ke mana angin bertiup. Orang seperti ini hatinya bening, kuat, dan mandiri. Dan kita yang ada di dekatnya akan merasa aman; yang lemah dikuatkan yang gundah menjadi tenang. Jujur kepada diri sendiri ini sebenarnya diperlukan terutama bagi seorang rohaniwan yang dalam menunaikan kewajibannya yang luhur melayani sesama, pengabdiannya itu seharusnya otentik dan tidak karena ikut-ikutan.
Jujur kepada diri sendiri adalah jalan menuju kepada integritas pribadi. Dalam Perjanjian Lama kata kerja cn ("sempurna," kata benda en) memiliki arti integritas yang terdiri dari empat komponen: sepenuh hati, siap melakukan segala perintah Allah, tidak munafik, dan tidak berbohong.1461 Maka, dalam Alkitab, integritas pribadi selain jujur kepada diri sendiri, tercakup juga kesediaan untuk melakukan perintah Allah. Inilah kesempurnaan ideal dari insan ciptaan Tuhan.
Untuk menutup pembahasan ini, perlu diingatkan bahwa jalan untuk memupuk keberanian dan kemandirian moral ini pertama-tama orang harus berani melihat dan mengakui seandainya ia memiliki kepalsuan-kepalsuan yang, harus dibuang. Kemudian, ia harus berlatih untuk jujur kepada diri sendiri maupun kepada orang lain, kendati tidak enak.

5. Iman
Sebagai keutamaan, iman tidak cuma soal menerima dan percaya akan kebenaran ajaran-ajaran Kristiani. Setan-setan juga percaya bahwa Allah hanya satu, namun kepercayaan itu tidak menyelamatkan malahan membuat gemetar (Yak 2:19). Percaya akan kebenaran dan kebaikan sesuatu tidak menentukan baiknya moralitas seseorang. Iman merupakan keadaan pikiran dan hati yang konstan sehubungan dengan Allah. Orang mempercayakan diri sepenuhnya kepada Allah untuk menolongnya. Sebagaimana mempercayai seseorang berarti memperhatikan nasehat-nasehatnya, demikian juga mempercayai Kristus berarti memperhatikan segala perintah dan saranNya.
Adalah benar bahwa ketika kita serius menjadi pengikut Kristus, kita semakin diperlihatkan kebobrokan kita. Berhadapan dengan tuntutan-tuntutan moral, ketahuanlah betapa susahnya kita melakukan sesuatu yang berkenan kepada Allah. Ketika kita mencoba dan gagal, mencoba lagi dan gagal lagi, semakin sadarlah kita betapa rusaknya perangkat moral kita. Sampai pada suatu titik, kita putus asa dan berkata kepada Allah, "Engkau harus melakukan ini aku sudah tidak sanggup lagi!" Titik putus asa ini tidak pernah kita alami, seandainya sikap kita adalah "Sebenarnya aku bisa, asal mau dan serius." Sikap seperti itu tidak akan pernah menghantar kita kepada mengenal kehebatan yang sebenarnya dari dosa. Kita juga baru merasakan kekuatan angin yang sebenarnya kalau kita berjalan menentangnya dan bukan dengan berbaring. Begitu pula kita tidak akan pernah mengetahui kekuatan sebenarnya dari pencobaan dan dosa sampai kita berusaha semaksimal mungkin menentangnya. Lewis berkata "No man know how bad he is till he has tried very hard to be good" (Mere Christianity, 123). Itu sebabnya orang yang biasa berbuat buruk hanya tahu sedikit keburukan dosa, karena ia belum melawan nafsu buruknya dengan maksimal. Dalam hal ini, karena Yesus adalah satu-satunya yang tak pernah menyerah ke dalam pencobaan, maka Dia pula yang satu-satunya tahu betul beratnya pencobaan, "the only complete realist" kata Lewis (Mere Christianity, 123). Ketika kita berada dalam pencobaan, Yesuslah Imam Besar teladan kita karena Dia "dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita ... sama dengan kita Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa" dan "kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya" (Ibr 4:15). Maka janganlah pernah berpikir bahwa berdosa itu manusiawi dan jangan pernah menyerah melawan pencobaan dan dosa.

6. Harapan
Bertolak belakang dari tuduhan bahwa agama cuma memberi harapan-harapan kosong, pengharapan Kristiani akan surga bukan angan-angan atau sikap melarikan diri dari kenyataan hidup (eskapisme). Lewis (Mere Christianity, 123) yang asalnya adalah ateis menyatakan bahwa dalam sejarah terbukti bahwa orang yang paling banyak memikirkan dunia akherat justru orang yang paling banyak berbuat di dalam dunia. Maka, dunia akherat dan dunia fana sebenarnya tidak perlu dipertentangkan.
Jika orang hanya terarah pada dunia fana dan tidak mengumpulkan bekal untuk dunia baka, dunia fana berikut kemegahannya pada suatu hari pasti berlalu. Dan di dunia yang akan datang ia tidak akan mempunyai bagian apa-apa. Dua kali kehilangan! Tapi kalau orang kehilangan dunia ini (dan bukankah setiap orang tidak akan mampu mendekap dunia selama-lamanya?), ia masih memiliki dunia lain. Memang idealnya, dunia fana dan dunia akherat keduanya diperoleh.
Realitas dunia baka diperkuat dengan fakta bahwa hati kita tidak pernah benar-benar dipuaskan dengan hal-hal duniawi dan ini memberi peluang kepada masa datang di mana Allah yang Mahakuasa akan menggenapi segala kekurangan yang terjadi pada masa sekarang. Dan harapan ini tidak kosong. "Harapan orang benar akan menjadi sukacita, tetapi harapan orang fasik menjadi sia-sia" (Ams 10:28).
Dari mana kita boleh yakin bahwa harapan-harapan kita akan hal-hal rohani bakal dipenuhi? Kita boleh membandingkan dengan kenyataan lain di dunia sekarang bahwa hasrat di dalam diri manusia mengarah untuk dipenuhi. Tangis bayi oleh kelaparan dikarenakan memang ada makanan yang bisa mengenyangkannya. Bebek ingin berenang karena memang ada air yang di dalamnya ia bisa berenang. Manusia memiliki hasrat seksual karena memang ada pemenuhannya. Kalau untuk hasrat-hasrat jasmani ini saja ada pemenuhan-pemenuhannya, cukup masuk akal kalau kita berharap pemenuhan untuk hasrat-hasrat yang bersifat rohani di dalam diri kita.
Setiap hasrat yang baik, suci, dan luhur mestinya akan dipenuhi. Kalau di dalam dunia hasrat rohani ini tidak dipenuhi, penjelasan yang paling mungkin adalah kita memang dijadikan bukan untuk dunia ini. Kita dijadikan untuk dunia lain, sebuah dunia rohani. Maka pemenuhan hasrat rohani harus dicari di dunia rohani. Bapa Gereja Agustinus menyadari hal ini ketika dalam permenungannya tentang manusia ia berkata kepada Allah, "Engkau mendorongnya untuk merasa nikmat dalam memujiMu, karena Engkau telah menjadikan kami bagi diriMu sendiri dan hati kami gelisah sampai mendapatkan perhentian di dalamMu" (Pengakuan 1:1).
Berangkat dari harapan yang tidak kosong ini, seorang Kristen bisa menikmati hidup dan kesenangan di dunia secara proporsional. Ia tetap ingat bahwa kesenangan-kesenangan duniawi ini memang tidak untuk memuaskan hasratnya dengan sempurna, melainkan untuk membangkitkan dan selalu mengingatkannya bahwa ada hal-hal yang jauh lebih sempurna. Maka ia tidak perlu menganggap nista kesenangan di dunia atau memperlakukan dunia dengan tidak serius asal lewat sap Sebaliknya, ia bisa mensyukurinya sebagai berkat Tuhan dan memandang serius kejadian-kejadian dunia, sambil merindukan pemenuhannya yang terjamin di sorga, "suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu" (1 Pet 1:4). Harapan umat Kristiani memang bersifat pasti karena Allah yang dipercaya adalah Yang Mahakuasa untuk mewujudkan apa yang telah dijanjikan-Nya.

7. Kasih / Kebaikan Hati
Kasih sebagai keutamaan tidak sama dengan rasa sayang. Kasih selalu bersifat konkret dan melampaui perasaan. Coba ingat ketika kita mengasihi diri sendiri. Kita tidak akan berhenti pada rasa menyukai diri, melainkan kita akan mengusahakan kebaikan-kebaikan untuk diri kita. Oleh karena itu, kasih tidak sama dengan rasa suka atau rasa sayang, walau yang terakhir ini bisa mempermudah kita untuk mengasihi. Barangkali istilah bahasa Inggris affection untuk rasa sayang dan love untuk kasih dapat menolong pemahaman kita.
Rasa suka, misalnya dengan obyek makanan, bersifat netral. Rasa sayang juga begitu dan karenanya tidak sama dengan kasih. Netral artinya bisa menjadi baik namun juga bisa menjadi jelek. Dan untuk menjadi baik. rasa sayang masih harus diarahkan. Maka. rasa sayang yang tidak terkontrol (memanjakan) bisa merusak yang disayangi. Kasih akan selalu mengusahakan kebaikan seseorang Karena kasih, orang bisa tidak mementingkan diri sendiri dan rela berkorban demi orang lain. Maka kasih dipupuk bukan dengan jalan duduk diam sampai rasa sayang muncul, melainkan melakukan sesuatu yang kita tahu baik untuk seseorang. Perhatikan betapa praktisnya prinsip mengasihi yang diletakkan oleh Yesus (Mat 5:43-48): mengasihi musuh kita adalah dengan jalan mendoakannya bukan menunggu sampai muncul rasa sayang terhadapnya. Sebagai perbandingan, Yesus menggambarkan bagaimana Bapa di surga membuat matahari terbit sama bagi orang jahat maupun orang baik menurunkan hujan juga bagi kedua macam orang itu, tanpa berbicara mengenai apakah afeksi Allah terhadap orang yang mengasihi-Nya dan yang tidak mempedulikanNya akan sama. Dan disitu pula letak kesempurnaan kasih Bapa dan kita juga harus sempurna seperti itu. Sebuah kesempurnaan yang realistis.
Prinsip yang sama juga berlaku dalam mengasihi Allah. Kita tidak diharapkan untuk bersandar pada emosi kasih kita, melainkan kasih kita kepada Allah harus nyata dalam tindakan yang kita tahu sesuai dengan kehendak-Nya. "Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku .... Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku .... Barangsiapa tidak mengasihi Aku, ia tidak menuruti firman-Ku" (Yoh 14:21, 23-24). Maka ketimbang memfokuskan diri pada rasa afektif kita kepada Allah. sebaiknya pikiran kita dipusatkan pada kasih Allah kepada kita. Rasa kasih kita kepada Allah bisa datang dan pergi. namun Allah tidak pernah berhenti mengasihi kita. Dan kalau Allah berkenan mengaruniakan rasa afektif yang sangat istimewa di dalam diri kita sehingga kita seperti tenggelam di dalam rasa sayang yang luar biasa kepada Allah, kita akan memilikinya. Namun kita tidak berhak menuntutnya. Kewajiban kita adalah mengasihi-Nya dan ini harus dinyatakan dengan tindakan-tindakan nyata.
Akan tetapi menurut aristoteles dan plato, keutamaan pokok itu ada 4 antara lain
1. keberanian
2. keadilan
3. pengendalian diri
4. kebijaksanaan

G. Keutamaan dan Ethos
Keutamaan membuat manusia menjadi baik secara pribadi. Orang yang berkeutamaan itu sendri adalah orang yang baik, bukan anak-anaknya, orang tuanya, atau orang lain lagi, kecuali bila mereka sendiri memiliki keutamaan juga. Kalau dalam suatu kelompok dimana seseorang itu mempunyai keutamaan maka mereka belum berkeutamaan sebagai kelompok. Keutamaan merupakan suatu ciri individual.
Ethos adalah satu kata yunani kuno yang masuk kedalam banyak bahasa modern persis dalam bentuk seperti dipakai oleh bahasa aslinya dulu dan karena itu sebaiknya ditulis juga menurut ejaan aslinya. Dalam bahasa modern ethos menunjukkan ciri-ciri, pandangan, nilai yang menjadi suatu kelompok.          

Berikut ini sifat umum manusia yang baik yang dikutip dari “SPECIAL MANAGEMENT SKILL SUB DIREKTORAT PPKB DIRMAWA UGM” :
Adaptable
Mudah menyesuaikan diri dan senang dalam setiap situasi.
Adventurous
Orang yang mau melakukan suatu hal yang baru dan berani dengan tekat untuk menguasainya.
Analytical 
Suka menyelidiki bagian-bagian hubungan yang logis dan semestinya.
Animated
Penuh kehidupan, sering menggunakan isyarat tangan, lengan, dan wajah secara hidup.
Balanced
Kepribadian yang stabil dan mengambil tengah-tengah, jarang bersikap ekstrim.
Behaved
Konsisten ingin membawa dirinya di dalam batas-batas apa yang dirasakan semestinya.
Bouncy
Kepribadian yang hidup, berlebihan, dan penuh tenaga.
Bold 
Tidak kenal takut, berani, terus terang,tidak takut akan resiko
Chief
Memegang kepemimpinan dan mengharapkan orang lain mengikutinya.
Chartmaker
Mengatur kehidupan, tugas, dan pemecahan masalah dengan membuat daftar, formulir atau grafik.
Cheerful
Konsisten memiliki semangat tinggi dan mempromosikan kebahagiaan pada orang lain.
Competitive
Mengubah setiap situasi, kejadian, atau permainan menjadi
lomba dan selalu bermain untuk menang.
Convincing  
Bisa merebut hati orang lain melalui pesona kepribadiannya.
Considerate
Menghargai keperluan dan perasaan orang lain.
Consistent
Memiliki keseimbangan secara emosional, menanggapi sebagaimana diharapkan orang.
Controlled
Mempunyai perasaan emosional tetapi jarang memperlihatkan-nya.
Confident
Percaya diri dan yakin akan kemampuan dan suksesnya sendiri.
Cultured
Perhatiannya melibatkan tujuan intelektual dan artistik, seperti teater, simfoni, balet.
Cute
Dicintai, pusat perhatian.
Contented
Mudah puas dengan apa yang dimilikinya, jarang iri hati.
Daring
Bersedia mengambil resiko, tak kenal takut, berani.
Deep
Intensif dan introspektif tanpa rasa senang kepada percakapan basa-basi.
Delightful
Orang yang menyenangkan sebagai teman.
Demonstrative
Terang-terangan menyatakan emosi, terutama sayang, dan tidak ragu menyentuh orang lain ketika sedang berbicara.
Decisive
Mempunyai kemampuan membuat penilaian yang cepat dan tuntas.
Detailed
Melakukan segalanya secara berurutan dengan ingatan yang jernih tentang segala hal yang terjadi.
Diplomatic
Berurusan dengan orang lain secara penuh siasat, perasa, dan sabar.
Dry humor
Pandai bicara yang menggigit, biasanya satu kalimat yang sifatnya sarkastis.
Funny
Punya rasa humor yang cemerlang dan bisa membuat cerita apa saja menjadi peristiwa yang menyenangkan.
Forceful
Kepribadian yang mendominasi dan menyebabkan orang lain ragu-ragu untuk melawannya.
Faithful
Secara konsisten bisa diandalkan, teguh, setia, dan mengabdi kadang tanpa alasan.
Friendly
Menanggapi dan bukan orang yang penuh inisiatif, jarang memulai percakapan. Ramah dalam berhubungan sosial.
Inspiring
Mendorong orang lain untuk bekerja, bergabung, atau terlibat dan membuat seluruhnya menyenangkan.
Independent
Mandiri, penuh percaya diri, dan tidak begitu memerlukan bantuan.
Idealistic
Memvisualisasikan hal-hal dalam bentuk yang sempurna dan perlu memenuhi standard itu sendiri.
Inoffensive
Tidak pernah mengatakan atau menyebabkan apapun yang tidak menyenangkan atau menimbulkan keberatan.
Lively
Penuh kehidupan, kuat, penuh semangat.
Leader
Terdoronguntuk memimpin, dan sering sulit mempercayai orang lain bisa melakukan pekerjaan dengan sama baiknya.
Loyal
Setia kepada seseorang, gagasan, atau pekerjaan, kadang-kadang melampaui alasan masuk akal.
Listener
Selalu bersedia mendengar apa yang dikatakan orang lain.
Mixes-easily
Menyukai pesta dan tidak bisa menunggu untuk bertemu setiap orang dalam ruangan, grapyak pada semua orang.
Mover
Terdorong oleh keperluan untuk produktif, pemimpin yang diikuti orang lain, sulit duduk diam.
Musical
Punya apresiasi mendalam tentang musik, punya komitmen pada musik sebagai seni bukan sebagai hiburan.
Mediator
Konsisten mencari peranan merukunkan pertikaian untuk menghindari konflik.
Optimistic
Periang dan meyakinkan dirinya dan orang lain bahwa segalanya akan beres.
Outspoken
Bicara terang-terangan dan tanpa menahan diri.
Orderly
Orang yang mengatur segala-galanya secara metodis dan sistematis.
Obliging
Bisa menerima apa saja. Orang yang cepat melakukannya dengan cara lain.
Peaceful 
Tampak tidak terganggu dan tenang serta menghindari setiap bentuk kekacauan.
Persistent
Melakukan sesuatu sampai selesai sebelum memulai lainnya.
Persuasive
Meyakinkan orang dengan logika dan fakta, bukannya pesona atau kekuasaan.
Playful  
Penuh kesenangan dan selera humor yang baik.
Patient
Tidak terpengaruh oleh penundaan, tetap tenang dan toleran serta sabar.
Popular
Menghidupkan suasana, sehingga sangat diharapkan kehadirannya oleh orang lain.
Productive
Terus menerus bekerja atau mencapai sesuatu, sering merasa sulit beristirahat.
Perfectionist
Menempatkan standard tinggi pada dirinya dan orang lain.
Pleasant
Mudah bergaul, bersifat terbuka, mudah diajak bicara.
Promoter
Mendorong orang lain mengikuti, bergabung, atau melakukan sesuatu melalui pesona kepribadiannya.

Positive
Mengetahui segala-galanya akan beres kalau dia yang memimpin.
Planner
Mempersiapkan aturan yang terincisebelum-nya dalam menyelesaikan target atau pekerjaan.
Refreshing
Memperbaharui dan membantu atau membuat orang lain merasa senang.
Resourceful
Bisa bertindak cepat dan efektif boleh dikata dalam semua situasi.
Respectful
Memperlakukan orang lain dengan rasa segan, hormat, dan penghargaan.
Reserved
Menahan diri dalam menunjukkan emosi atau antusiasme
Spontaneous
Semua kehidupan merupakan kegiatan yang impulsif, tidak dipikirkan lebih dulu, dan tidak terhambat oleh rencana.
Sociable
Bersama orang lain sebagai kesempatan untuk bersikap manis dan menghibur.
Strongwilled
Orang yang yakin akan caranya sendiri, berkemauan kuat.
Self-sacrificing
Bersedia mengorbankan dirinya demi atau untuk memenuhi kebutuhan orang lain.
Submissive
Dengan mudah menerima pandangan atau keinginan orang lain tanpa banyak bertanya.
Spirited
Penuh kehidupan dan gairah.
Self-reliant
Mandiri dan sepenuhnya bisa mengandalkan kemampuan, penilaian, dan sumber dayanya sendiri.
Sensitive
Secara intensif memperhatikan orang lain, dan apa yang terjadi.
Satisfied
Orang yang mudah menerima keadaan atau situasi apa saja.
Sure
Yakin, jarang ragu-ragu atau goyah.
Scheduled
Membuat, menghayati, dan menuruti rencana sehari-hari, tidak menyukai rencananya terganggu.
Shy
Pendiam, tidak mudah terseret dalam percakapan.
Talker
Terus menerus bicara, biasanya menceritakan kisah lucu, merasa perlu mengisi kesunyian agar orang lain senang.
Tenacious
Memegang teguh dengan keras kepala dan tidak mau melepaskan sampai tujuan tercapai.
Tenacious
Memegang teguh dengan keras kepala dan tidak mau melepaskan sampai tujuan tercapai.
Thoughtful
Tanggap dan mengingat kesempatan istimewa dan cepat memberikan isyarat yang baik
Tolerant
Mudah menerima pemikiran dan cara orang lain tanpa perlu tidak menyetujui atau mengubahnya.

I. Cara Bergaul dengan Baik
Seluruh manusia itu adalah umat yang satu. Dalam hidup bemasyarakat, kita bergaul dengan banyak pihak. Dan dengan semua pihak ini, tidak peduli suku apa, pangkatnya apa, agamanya apa, dan lain sebagainya.
Misalnya dalam ajaran Islam, penganutnya diminta oleh Islam untuk bergaul dengan baik. Terutama terhadap pihak-pihak yang berikut ini, harus diberikan priorotas untuk kita pergauli dengan baik yaitu:
1.  Kedua orang tua, ibu dan bapak kita masing-masing
2.  Orang-orang yang menjadi karib kerabat kita
3.  Anak-anak yatim
4.  Orang-orng miskin
5. Tetangga yang dekat maupun yang jauh dengan kita, baik dilihat dari segi  tempat, hubungan keluarga maupun dilihat dari segi muslim dan bukan muslim.
6.  Orang-orang yang menjadi teman sejawat kita
7.  Ibnu sabil yaitu, para musafir yang kehabisan bekal yang kepergiannya tidak  untuk maksiat.
8.  Hamba sahaya

Bergaul yang baik dengan sesama manusia dapat dibagai menjadi tiga tingkat:
Tingkat pertama:
Ialah tingkat yang paling rendah yaitu kita bergaul dengan orang lain hanya sekedar kita tidak membuta susah kepada orang lain dan tidak mengganggu mereka.
Misalnya Pada waktu siang hari selagi orang lian tengah istirahat tidur siang atau tengah asik belajar, kita tidak membunyikan TV atau Radio keras-keras, contah yang lain adalah tidak membuang sampah sembarang sehingga mengganggu tetangga dan lain sebagainya. Jadi menurut cara bergaul tingkat rendah ini, kita bergaul secara positif sebab kita tidak berbuat ini dan itu yang dapat menyusahkan orang lain.

Tingkat kedua:
Ialah bergaul yang lebih tinggi dari pada bergaul tingkat pertama. Bergaul yang baik dengan orang lain menurut tingkat kedua ini kita bergaul tidak secara pasif lagi tetapi secara aktif, dengan kita berbuat dan bermanfaat bagi orang lain. Kita tidak sekedar hanya “tidak menggangu orang lain”, tetapi lebih dari itu kita sudah memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain.
Dalam Islam, Rasulullah juga mengajarkan kepada umat muslim agar selalu menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Lebih jauh Rasulullah menerangkan: “tahukah kamu, apa yang menjadi hak tetangga? Bila tetangga minta tolong tolonglah ia. Bila ia ingin hutang kepadamu, hutangilah dia. Bila ia memerlukan sesuatu, berikan sesuatu kepadanya. Bila ia jatuh sakit, jenguklah ia. Bila ia meninggal dunia antarkanlah jenazahnya. Bila memperolah sesuatu yang menggembirakan, ucapkanlah selamat kepadanya. Bila ia mendapat sesuatu musibah, tunjukkanlah rasa simpati kepadanya. Janganlah kamu mendirikan bangunan yang tinggi yang menutupi udara tetangga itu kecuali kalau sudah mendapat ijin. Bila kamu membeli buah-buahan hadiahkan sebagian kepadanya, bila tidak masukkanlah ke rumah pelan-pelan dan jangan sampai anak-anakmu membawa keluar buah-buahan itu supaya tidak membikin jengkel anak tetanggamu. Janganlah kamu sakiti hati tetangga dengan bau masakan didapur, kecuali kalau kamu berikan sebagian kepadanya.

Tingkat ketiga:
Cara bergaul yang baik yang ketiga ini adalah cara bergaul yang terbaik dan tertinggi.
Menurut cara bergaul yang ketiga ini, kita tidak hanya sekedar “tidak mengganggu orang lain dan tidak hanya sekedar memberi manfaaat kepada orang lain” seperti pada cara bergaul menurut tingkat pertama dan kedua, melainkan lebih dari itu kita sudah berbuat ke tingkat yang lebih sempurna lagi, yaitu kita menahan diri dengan sabar terhadap tindakan orang lain yang menyakitkan kita, bahkan kita balas perbuatan yang tidak baik itu dengan kebaikan. Seperti yang diajarkan Rasulullah terhadap umat muslim : “jika kamu ingin melebihi tingkat mereka yang tergolong shiddiqun (orang-orang yang benar) sambunglah hubungan persaudaraan dengan mereka yang memutuskan hubungan persaudaraan itu, berilah mereka yang menahan pemberian dan maafkanlah mereka yang berbuat dzalim kepadamu”.
Memang sebagian orang kurang begitu memperhatikan pergaulannya dengan orang lain dan tidak ambil perduli terhadap masyarakat sekitarnya. Bersikap masa bodoh dengan tidak senang bergaul dengan orang, bahkan tingkah lakunya menunjukkan sifat-sifat angkuh dan angker, terutama kepada orang-orang yang tingkatnnya yang lebih rendah. Tidak ada keramahan, tidak ada kedermawanan, tidak ada sikap tawadhu.
Semua bentuk-bentuk tingkah laku yang sifatnya asosial, tentu sangat keliru dan sangat tidak bijaksana.

J. Menjadi Sebaik-baik Manusia
Adalah aksioma bahwa manusia itu makhluk sosial. Satu dengan yang lain hidup saling berketergantungan. Karena, kita membutuhkan sesuatu dari orang lain. Dengan kata lain, kala berinteraksi dengan seseorang, kita sesungguhnya sedang mengambil manfaat dari orang itu untuk kepentingan diri kita. Ada yang memberi jasa dan ada yang mendapat jasa. Si pemberi jasa mendapat imbalan dan penerima jasa mendapat manfaat. Itulah pola hubungan yang lazim. Adil.
Namun, ada orang yang mengambil terlalu banyak manfaat dari orang lain dengan pengorbanan yang amat minim. Naluri kita akan mengatakan, ini tidak adil. Curang. Ketika seseorang mengambil banyak manfaat untuk dirinya sendiri dengan cara curang dan melanggar hak orang lain, kita sebut itu sebagai kejahatan.
Hati selalu menginginkan pola hubungan yang seimbang dan saling ridho dalam mengambil manfaat dari satu sama lain. Jiwa kita akan senang dengan orang yang mengambil manfaat bagi dirinya dengan cara yang baik. Kita anggap seburuk-buruk manusia kepada orang yang mengambil manfaat banyak dari diri kita dengan cara yang salah. Apakah itu menipu, mencuri, dan mengambil paksa, bahkan dengan kekerasan.
Yang luar biasa adalah orang lebih banyak memberi daripada mengambil manfaat dalam berinteraksi dengan orang lain. Orang yang seperti ini kita sebut orang yang terbaik di antara kita. Dermawan. Ikhlas. Tanpa pamrih.
Untuk bisa punya sifat selalu memberi, ada beberapa hal harus kita set up ke dalam diri kita. Pertama, iman kepada Tuhan YME. Sebab, amal tanpa pamrih adalah bentuk ikhlas. Hanya mengharap ridho Tuhan YME. Tak mungkin sifat ini ada jika iman kita tipis. Seperti kisah Bilal bin Rabah. Ia hidup miskin. Namun ia selalu bersedekah di dalam keadaan sesulit apapun. Kata Nabi, sedekah tidak membuat rezeki berkurang. Bilal mengimani janji Nabi ini.
Kedua, untuk bisa memberi manfaat kepada orang lain tanpa pamrih, kita perlu mengikis habis sifat egois dan rasa serakah terhadap materi dari diri kita.

Ketiga, harus ada adagium “sisa harta kita adalah yang telah diberikan kepada orang lain” di benak kita. Pernah Nabi menyembelih kambing. Beliau menyuruh seorang sahabat untuk menyedekahkan daging kambing itu. Setelah dibagi-bagi, Nabi bertanya, berapa yang tersisa? Sahabat menjawab, hanya tinggal sepotong paha. Nabi mengoreksi jawaban itu. Yang tersisa bagi kita adalah apa yang telah dibagikan. Itulah yang kekal sebagai tabungan akhirat. Sementara, daging paha yang ada tak lama lagi akan busuk atau membusuk di dalam perut kita sebelum menjadi kotoran.
Begitulah harta. Jika tidak dimanfaatkan untuk beramal, akan lepas selamanya dari tangan kita: lapuk dimakan usia, menjadi sampah, atau diperebutkan ahli waris. Tak heran jika Abu Tholhah tidak bisa tidur nyenyak sebelum keuntungan berdagangnya disedekahkan di malam itu juga.
Keempat, memberi manfaat tanpa pamrih kepada orang lain menjadi mudah jika di benak kita ada pemahaman bahwa “sebagaimana kita memperlakukan, seperti itu jugalah kita akan diperlakukan. “Jika kita memuliakan tamu, seperti itu juga kita dimuliakan saat bertamu. Anda pelit ke tetangga, tetangga pun akan pelit ke Anda. Kelima, untuk bisa memberi, kita harus memiliki sesuatu. Bentuknya bisa dana, pikiran, tenaga, waktu, dan perhatian.
Begitulah manusia terbaik. Senantiasa memberi, tak harap kembali. Laksana mentari yang membakar diri untuk memberi energi kepada bumi. Seperti hujan yang menghidupkan semesta alam.

K. Tahapan hidup manusia yang baik
Manusia yang baik sebaiknya mengikuti ritme dan tujuan hidup yang berlaku secara umum di masyarakat selama masih sesuai dengan aturan yang berlaku secara norma, nilai, adat setempat, agama yang dianut, hukum yang berlaku dan lain sebagainya. Ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan dapat menyebabkan konflik yang dapat menimbulkan penilaian buruk hingga penolakan.
Berikut ini adalah sekilas tahapan hidup manusia yang baik :
  1. Anak-Anak
Sebagai anak yang baik yang hidup bergantung pada orang tua sudah barang tentu harus patuh, tunduk dan hormat pada orangtua (kecuali jahat atau tidak wajar). Jadilah anak yang bisa diandalkan dan dibanggakan orangtua. Hindari perilaku, aktivitas dan kegiatan yang tidak disukai orang tua. Bagaimanapun juga orangtua yang baik akan selalu melindungi dan memberi kasih sayang kepada anaknya. Tinggal bagaimana timbal balik kita kepada orang tua saat masih kanak-kanak dan saat remaja serta dewasa kelak.
Ketika memasuki tahap sekolah, maka belajar dengan serius, rajin, tekun dapat membuat orangtua bangga. Menambah kegiatan yang berguna akan sangat baik sekali seperti kegiatan olahraga, seni, organisasi kemasyarakatan, dan lain-lain. Hindari aktifitas yang buruk seperti nongkrong-nongkrong, tawuran, berantem, pacaran, main game berlebihan, berbohong, merokok, mabuk-mabukan, dan lain sebagainya. Sukses dapat dilihihat dari seberapa baik prestasi kita di sekolah dan luar sekolah serta seberapa sayang dan bangga keluarga juga masyarakat sekitar kepada kita.


  1. Remaja
Masa remaja adalah masa yang menentukan masa depan. Kesalahan pada masa ini dapat menghancurkan hidup seseorang. Pada tahap remaja, kesuksesan masih dapat dilihat dari sebarapa bangga keluarga serta masyarakat kepada kita dan seberapa besar prestasi yang dicapai pada ruang lingkup akademis dan non akademis. Pendidikan adalah modal dasar untuk bisa melaju sukses di saat dewasa karena negara kita yang masih sangat menilai seseorang dari sisi prestasi akademis daripada kemampuan non akademis.
Masa remaja harus dipersiapkan dan direncanakan dengan baik mulai dari cita-cita yang hendak dicapai (harus sangat tinggi), bisnis-bisnis sampingan yang akan dijalankan, membuat keluarga yang sakinah mawahdah warohmah, hingga bagaimana menyelesaikan studi yang sedang berjalan hingga selesai. Usahakan selesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi. Jika orangtua tidak mampu maka cobalah putar otak bagaimana membiayai pendidikan sendiri dan membiayai kehidupan sendiri seolah-olah kita akan mati atau hidup sengsara jika tidak bisa sukses pada bidang akademis.
Pada saat remaja harus ada gambaran pekerjaan yang nanti akan dijalani sesuai minat, bakat dan keberuntungan. Siapkan juga jalur alternatif lain jika cita-cita tersebut kandas atau berbelok 180 derajat. Jangan ragu pula untuk memulai dari bawah karena pengalaman adalah guru yang paling baik. Jadilah orang yang tegar menjalani hidup dan jangan putus asa hanya karena gagal meraih cita-cita atau putus cinta karena kegagalan adalah awal dari kesuksesan.
Masalah cinta sebaiknya jaga emosi dan latih kesabaran. Sebaiknya hindari pacaran yang serius yang menjurus ke cinta mati / cinta buta atau bahkan ke hubungan fisik terlarang yang memiliki resiko tinggi menghancurkan masa depan seseorang. Remaja yang baik bisa merencanakan kapan harus jatuh cinta dan serius menggarap cintanya. Sebaiknya mulai serius pacaran ketika telah bekerja dan bisa hidup mandiri karena akan lebih banyak pilihan jodoh atau justru akan datang dengan sendirinya kepada kita. Rencanakan dan pikirkan dengan akal sehat sebaik-baiknya masalah pacar dan jodoh.

  1.  Dewasa
Saat-saat dewasa sebaiknya hanya tinggal menjalankan rencara yang telah disusun rapi dengan banyak jalur alternatif. Boleh juga menyempurnakan rencana yang telah ada sehingga menjadi lebih baik lagi. Pada tahap ini juga perlu memikirkan orang tua kita yang semakin bertambah usianya atau bahkan mencapai usia lanjut. Oleh sebab itu mulailah berbakti pada orang tua dengan memberikan perhatian yang lebih baik secara finansial maupun kasih sayang ketika telah mapan dan mandiri.

Saat dewasa adalah waktunya untuk membentuk keluarga sendiri. Orang tua kita akan sangat bangga jika kita bisa menemukan jodoh yang baik dan melahirkan anak-anak yang sehat dan pintar tanpa perlu banyak campur tangan dari orang tua. Jika telah berkeluarga maka jagalah dengan baik keluarga tersebut jangan sampai rusak karena emosi dan kelakuan buruk dari kita maupun pasangan hidup kita (suami/isteri). Sukses pada tahap ini adalah ketika bisa mapan mandiri, membentuk keluarga yang bahagia dan dapat membahagiakan orangtua (ortu kandung dan mertua) kita yang telah membesarkan kita dan membimbing kita dari lahir.
Dalam hal materi ada beberapa yang harus diperhatikan dan dijadikan fokus utama. Prioritaskan materi dan aset-aset yang bersifat jangka panjang. Ketika mulai bekerja dan menghasilkan uang sendiri maka mulai berpikir, menabung, dan menganggarkan dana untuk membantu orang tua, mencari jodoh, menikah, membeli rumah atau mengontrak rumah tempat tinggal, memiliki dan membesarkan anak, perabot, dan kendaraan. Hindari membuang-buang uang untuk trend, gaya-gayaan, maniak teknologi baru, foya-foya, hobi buta, dan lain sebagainya kecuali untuk amal zakat infak sodakoh.
Di samping itu tidak kalah penting untuk membangun bisnis baik mulai dari nol maupun melanjutkan dari yang sudah ada di berbagai bisnis sebagai persiapan dalam menghadapi krisis pada profesi utama. Dengan berbisnis juga dapat mengamankan finansial kita saat tidak bekerja (penghasilan pasif). Tabunglah uang yang tersisa dalam bentuk aset atau uang riil (dinar dirham) karena uang kertas dan logam (uang kartal) sebenarnya tidak berharga tanpa jaminan bank sentral.

  1. Lanjut Usia
Pada tahapan ini seharusnya telah menikmati hasil dari persiapan pralansia baik dari sisi finansial maupun dari sisi keluarga (anak dan cucu). Pada tingkatan ini sukses ditentukan dari seberapa tenang hidup anda dan keberhasilan yang dicapai anak-anak anda. Pada tahap ini sebaiknya anda menikmati hidup saja sambil sedikit memberi sumbangsih pada lingkungan masyarakat sekitar serta memberikan sedikit uluran tangan pada anak-anak sebatas memberi masukan dan saran.
Keberhasilan tidak ditentukan oleh finansial semata karena hanya dengan sukses anak menjadi orang yang menyayangi orang tua dan hidup berkecukupan maka orang tua pun akan ikut menikmati hasil dari si anak tersebut. Namun alangkah baiknya jika pada tahap ini tetap bisa mandiri secara finansial sehingga tidak merepotkan atau membebani anak sehingga anak cucu kita akan tetap 100% menghargai dan menghormati kita sebagai yang dituakan.



BAB III
PENUTUP

Menjadi manusia yang baik merupakan tujuan hidup yang sudah seharusnya dimiliki oleh setiap umat manusia. Caranya adalah dengan bermanfaat bagi orang lain. Karena sebaik baik manusia adalah manusia yang bermanfaat. Berbuat baiklah kamu jika kamu ingin orang lain berbuat baik terhadapmu.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat sehingga dapat menjadi masukan bagi kita sebagai umat manusia agar senantiasa berbuat baik terhadap sesama, tanpa memandar suku, agama, dan keturunan.

Orang kudus dan pahlawan
Dalam rangka mempelajari mutu moral perbuatan-perbuatan manusia, teori-teori etika biasanya membedakan tiga kategori perbuatan. Pertama, ada perbuatan yang merupakan kewajiban begitu saja dan harus dilakukan. Kita harus mengatakan yang benar, kita harus menghormati privacy seseorang dan seterusnya. Kita menjadi baik secara moral bila melakukan perbuatan-perbuatan ini. Kedua, ada perbuatan yang dilarang secara moral dan tidak boleh dilakukan. Kita tidak boleh berbohong, mengingkari janji, membunuh sesama manusia, dan seterusnya. Kita menjadi buruk secara secara moral bila melakukan perbuatan jenis ini. Ketiga, ada perbuatan yang dapat diizinkan dari sudut miral, dalam arti tidak dilarang dan tidak diwajibkan seperti main catur disaat senggang, menonton televisi di luar waktu kerja dan seribu satu kegiatan lain yang mengisi kehidupan kita setiap hari. Perbuatan terakhir ini adalah netral dari sudut moral atau biasa disebut amoral dalam arti seperti sebelumnya sudah dijelaskan tidak baik dan tidak buruk juga. Kategori perbuatan yang ketiga ini dianggap sama luasnya dengan oerbuatan yang tidak termasuk katergori yang pertama atau kedua. Dan dengan demikian kategorisasi perbuatan dari sudut pandangan moral dianggap sudah selesai.

Ada tiga macam situasi di mana seseorang bisa disebut kudus atau pahlawan dalam arti eksklusif tis. Situasi pertma dan kedua dapat dicantumkan dalam tiga kategori perbuatan moral yang disebut tadi. Tapi dalam situasi ketiga berlangsung perbuatan-perbuatan moral yang terletak di luar kategorisasi itu dan karena itu bagi maksud kita situasu ketiga itu paling penting.
(1) Kita menyebut seseorang kudus, jika ia melakukan kewajibannya dalam keadaan dimana kebanyakan orang tidak akan melakukan kewajiban mereka, karena terbawa oleh keinginan tak teratur atau kepentingan diri. misalnya, orang tertentu selalu jujur, walaupun sering tergiur oleh kesempatan melakukan korupsi dengan mudah sekali.
Paralelisme antara orang kudus dan pahlawan ini hanya mengenal dua perbedaan. (a) yang ditentang oleh orang kudus dan pahlawan adalah dua hal yang berbeda. Orang kudus menentang keinginan dan kepentingan diri bila melakukan kewajiban, sedangkan pahlawan menentang ketakutan dan kecenderungan alamiah untuk mempertahankan hiduonya. (b) orang kudus menjalankan pertentangan itu selama periode waktu yang cukup panjang. Supaya seseorang pantas disebut kudus, tidak cukuplah bila satu kali saja ia mengatasi godaan untuk melakukan korupsi.
(2) Kita menyebut juga seseorang kudus, jika ia melakukan kewajibannya dalam keadaan dimana kebanyakan orang tidak akan melakukannya, bukan karena displin diri yang luar biasa melainkan dengan mudah dan tanpa usaha yang khusus. Dengan kata lain ia melakukan kewajibannya karena keutamaan. Godaan bagi dia sebenarnya bbukan godaan lagi, karena ia sudah biasa berlaku jujur, umpamanya.
 
DAFTAR PUSTAKA

De Vos., 1987, Pengantar Etika (Terjemahan : Soejono Soemargono), Penerbit PT Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta.

Bertens K., 2005, Etika, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Zubair, Achmad Charris., 1987, Kuliah Etika, Penerbit Rajawali Press, Jakarta.



http://organisasi.org/tahapan-prioritas-dalam-kehidupan-hidup-manusia-yang-baik-dan-wajar-normal. Diakses : 24 Juli 2011.

http://panabuletin.wordpress.com/2009/05/17/183/. Diakses : 23 Juli 2011.

http://www.kemalstamboel.com/blog-manajemen/menjadi-sebaik-baik manusia.html. Diakses : 23 Juli 2011.

http://yumantoko.blogspot.com/2010/02/sifat-umum-manusia-yang-baik.html. Diakses : 24 Juli 2011.

 

 

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar